By : Dr. Depi Dasmal, S.Ag, M.Ag
Pengawas/Praktisi Kemenag Kota Padang
Tulisan sederhana dalam rangka memperingati HGN Tahun 2024
25 November merupakan sebuah momen penting dalam konstelasi pendidikan, karena pada tanggal tersebut setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Guru Nasional (HGN). Momen ini akan mengingatkan kepada sebuah kata “guru” yang akan dilihat dan dimaknai dari berbagai sudut pandang dan pemikiran. Guru sebagai profil, guru sebagai profesi, guru sebagai tanggung jawab, guru dalam konteks kesejahteraan, dan hak profesi guru dalam memperoleh perlindungan.
Dari perbedaan sudut pandang tersebut tentu akan memberikan komentar dan penilaian yang beragam. Terlepas dari berbagai pandangan itu, guru merupakan sebutan yang memiliki konotasi baik, mulia, pengabdian, dan ladang amal, tesis ini bukan semata ditujukan kepada person, sebab personality guru tentu sangat dinamis. Penilaian ini lebih diarahkan kepada pekerjaan, tugas, dan tanggung jawab guru sebagai tenaga profesional.
Pengabdian dan tugas mulia jika dilakukan dan dilakoni oleh seorang guru yang memiliki jiwa mendidik, kompetensi dan profesionalitas, attitude dan integritas tentu akan memuluskan untuk mencapai tujuan pendidikan itu sendiri sesuai amanat regulasi, untuk mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara beriman dan bertaqwa.
Harapan ideal ini belum berbanding tegak lurus dengan berbagai kondisi faktual pendidikan dan pembelajaran saat ini yang masih memiliki berbagai persoalan, baik menyangkut guru, proses, kurikulum, dan output, serta outcome lulusan. Termasuk otoritas guru dalam proses pembelajaran menjadi dilematis ketika bersinggungan dengan HAM, sehingga adanya sebagian orang tua tidak menerima perlakuan guru terhadap anaknya, melaporkan guru, mengintimidasi guru, dan lain sebagainya.
Di sisi lain masih adanya suasana pembelajaran yang belum menyenangkan dengan adanya bulying, kekerasan fisik, pembunuhan katakter, dan persolan lainnya. Tentu semua ini akan menganggu jalannya sistem pendidikan.
Mencermati kondisi ini, kita tidak perlu saling menyalahkan dan saling mengklaim pembenaran. Menurut penulis semua komponen yang mempunyai kontribusi dan tanggung jawab terhadap pendidikan perlu mengevaluasi demi sebuah perubahan, perbaikan menuju kesempurnaan. Ada beberapa hal yang perlu dilakukan evaluasi mendalam, diantaranya:
1. Mindset guru. Memilih pilihan menjadi guru dalam konteks pendidikan formal mesti lahir dari dalam diri seseorang dan memiliki bakat menjadi guru, bukan terpaksa jadi guru, atau disuruh untuk jadi guru. “Motivasi” menjadi guru akan memengaruhi spirit, sikap, dan ketekunan dalam menjalani tugas sebagai guru.
Jika guru memiliki motivasi menjadikan “guru” sebagai tugas mulia dan berorientasi kepada kepentingan ukhrawi, maka seorang guru akan sungguh sungguh menjalani tugasnya, dengan melandaskan pada nilai keikhlasan dan pengabdian.
Kesadaran ini kalau sudah tertanam pada minset dan motivasi menjadi guru, maka setiap guru akan mendidik dengan hati dan penuh kasih sayang. Inilah yang akan memberikan kepuasan dan ketenangan bagi guru sebagai ladang amal jariyah dan ilmu bermanfaat.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Baihaqi, Rasulullah berpesan “jadilah kamu sebagai orang yang memberi ilmu, atau orang yang mau menuntut ilmu (belajar), atau orang yang mau mendengarkan ilmu,atau orang yang mencintai ilmu, dan jangan kamu menjadi yang kelima (tidak mau memberi ilmu, menuntut ilmu, mendengar ilmu, mencintai ilmu) maka kamu rugi dan binasa.
Ungkapan KH. Abdullah Sahal (Pembina Ponpes Gontor); “Al-maaddatu muhimmah, At-Thariiqatu ahammatun minal maaddah, walakinna mudarris ahammu minat thariiqah, war ruhul mudarris ahammu minal mudarrisi nafsih (Materi penting, metode lebih penting dari materi, akan tetapi guru lebih penting dari metode, dan ruh/hati guru lebih utama dari dirinya)”.
2. Memaknai profesi guru. Pada prinsipnya setiap kita adalah guru, minimal menjadi guru untuk diri kita sendiri Guru dalam konteks pendidikan formal merupakan suatu pekerjaan yang dikerjakan dengan profesional. Pekerjaan profesional mestinya dilakukan oleh seorang profesional dengan tahapan-tahapan dan mekanisme yang memiliki Indikator terukur.
Persoalan yang sering terjadi adalah ketika seseorang telah berprofesi sebagai guru dengan telah memenuhi persyaratan dan tahapan rekrutmen, sebagian guru menjadi stagnan dan bertahan dengan situasi kondisi yang ada “zona aman dan nyaman”.
Tidak mau keluar dari zona tersebut apalagi ketika telah memperoleh “reward” gaji dan tunjangan profesi yang dirasakan sudah memadai. Sehingga muncul sebuah anekdok “apapun makanannya minumannya tetap teh botol” (bisa dimaknai apapun kurikulumnya cara guru mengajar tetap seperti semula).
Paradigma guru terlihat disaat guru belum mau atau belum mampu untuk beradaptasi dan berinovasi terhadap pengembangan pembelajaran, maka dalam pembelajaran itu yang sering terjadi guru hanya berperan sebagai transfer of knowledge (mengajar), anak dipandang sebagai robot dan tujuan pembelajaran hanya menargetkan jumlah materi yang diajarkan.
Jika ini masih dipertahankan, suatu saat peran guru akan digantikan oleh mesin dengan basis digital, semua bisa ditanya ke “mbah google”. Lalu bagaimana untuk membangun karakter dan akhlak peserta didik, disinilah perlunya penguatan peran guru sebagai “transfer of value” (mendidik), guru digugu dan ditiru.
Maka mengintegrasikan mengajar dan mendidik merupakan sebuah ikhtiar pembelajaran dan keniscayaan untuk melahirkan lulusan yang kompeten (berilmu dan terampil) dan berkarakter (akhlak mulia). Untuk itu tidak pas, jika secara instan memahami dan memaknai profesi guru dan guru profesional identik dengan materi dan langsung terbayang “reward” (ujrah/pay).
3. Kesejahteraan Guru Kesejahteraan guru merupakan hal penting yang perlu diperhatikan oleh semua pihak pemerintah maupun masyarakat. Jika di perusahaan BUMN, BUMD, ada istilah UMR, tapi profesi guru tidak mengenal UMR. Betapa kuatnya seorang guru honorer yang mampu bertahan dengan Kesejahteraan 300-400 ribu per bulan.
Secara langsung, memang guru tidak memberikan keuntungan fisik/materil bagi peserta didik, tapi yang diberikan guru adalah ilmu yang dibutuhkan akal dan hati sebagai penyannga kehidupan manusia bermanfaat dunia akhirat itulah keuntungan bathin yang tak bisa diukur dan dihargai dengan materil.
Satu hal yang patut diapresiasi adalah spirit, kesabaran, dan profesionalitas guru honor kadang melebihi guru “non honorer”. Semoga pengambil kebijakan bisa memfokuskan pada kondisi ini dan membuat kebijakan untuk membahagiakan guru honorer bisa tersenyum dan bahagia dengan guru lainnya.
4. Optimalisasi peran guru. Seiring paradigma pembelajaran abad 21, maka optimalisasi peran guru perlu ditingkatkan. Idealnya kesibukan guru lebih banyak porsinya untuk mendidik dan mengajar anak, tidak lagi mengurus hal hal yang menyangkut administrasi, apalagi sekarang sudah berbasis digital.
Tentunya semua ini diharapkan kepada pengambil kebijakan untuk meningkatkan kualitas guru melalui program inovasi pembelajaran, bukan program atau kegiatan dengan target memperoleh lisensi dengan kelengkapan administrasi yang begitu memporsir tenaga dan waktu.
Tujuan pendidikan sebagai upaya untuk melakukan perubahan, peningkatan dan perbaikan baik pengetahuan, keterampilan, maupun sikap dapat terwujud, maka perlu reoptimalisasi peran guru dalam pembelajaran. Guru berperan untuk mendidik, mengajara, dan membimbing peserta didik.
5. Perlindungan Guru. Guru sebagai profesi profesional, seirama dengan profesi lainnya, guru perlu memperoleh perlindungan dan jaminan dari negara, baik secara regulasi maupun kelembagaan. Hal ini bertujuan untuk kenyamanan guru dalam menjalankan profesinya.
Berbagai kasus yang menerpa guru selama ini akan terbantu jika guru memiliki perlindungan dari negara. Jasa guru menjadikan kita tahu, mampu, maju, beradab, dan saling menghargai. #Selamat Hari Guru Nasional, Guru berdaya, pendidikan maju, agama terbina, bangsa berjaya.[*]