AgamSumatera Barat

“Sawah Pokok Murah”, Konsep dan Aplikasinya Seperti Apa?

×

“Sawah Pokok Murah”, Konsep dan Aplikasinya Seperti Apa?

Sebarkan artikel ini
Seorang petani tengah menjujung jerami persiapan pelaksanaan kegiatan Sawah Pokok Murah di Lubuk Panji, Pasar Durian, Manggopoh, Kecamatan Lubuk Basung, Kabupaten Agam, Sumatera Barat.

Oleh Lukman

“Sawah Pokok Murah”. Salah satu program Bupati Agam Benni Warlis. Saya bangga dengan Bupati Agam, Sumatera Barat, Bapak Benni Warlis, begitu tinggi perhatian beliau untuk mensukseskan pertanian, agar usaha pertanian, khusus komoditi padi sawah agar memperoleh produksi berlipatganda, dengan harga yang memberi keuntungan lebih banyak bagi petani di Kabupaten Agam.

Untuk mengejar peningkatan produksi pertanian budi daya tanaman padi sawah di Kabupaten Agam, Bupati Agam Benni Warlis telah memprogramkan yang diberi nama “Sawah Pokok Murah”. Setiap nagari di Kabupaten Agam dianjurkan melaksanakan Sekolah Lapangan (SL) usaha tani Sawah Pokok Murah dibiayai dengan anggaran Dana Desa (DD), kalau di Kabupaten Agam adalah “Dana Nagari”.

Menurut saya, belum layak program ini di SL kan, alasannya, karena belum memiliki konsep yang jelas dan pas untuk program Sawah Pokok Murah ini. Dalam literatur Sekolah Lapangan (SL) adalah metode pembelajaran non-formal yang digunakan untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap petani.

Lokasi Sekolah Lapangan (SL) Sawah Pokok Murah di Lubuk Panji, Pasar Durian Manggopoh, Kecamatan Lubuk Basung, Kabupaten Agam, Sumatera Barat.

SL berfokus pada pembelajaran langsung di lapangan (lahan petani) dengan pendekatan partisipatif, bukan dalam kelas. Pertanyaannya, apakah metode Sawah Pokok Murah yang di SL kan ini sudah diyakini akan memberi manfaat?. Dari dahulu kita banyak mendengar bermacam langkah dan methoda yang diuji coba dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan petani, tapi belum ada ditemukan yang pas.

Misalnya saja, tekbologi Tabela (Tanam benih langsung), teknologi budi daya Padi Salibu, Jajar Legowo, padi sabatang, mina padi, dan lainnya, dan diera ini, Bupati Agam Benni Warlis, mencetuskan anjuran tiap nagari melaksanakan Sekolah Lapangan (SL) Sawah Pokok Murah.

Apa sudah diyakini metode ini dapat diterapkan petani?. Kesukaan petani adalah teknologi sederhana, mudah dikerjakan, biaya murah, apakah Sawah Pokok Murah ini tidak merepotkan?. Petani itu ada beberapa bagian; ada petani penggarap, ada buruh tani, petani pemilik lahan, ada juga petani pemilik lahan sekaligus penggarap, tapi bergiliran. Untuk melaksanakan metode ini, petani penggarap harus dapat persetujaun dulu dari pemilik sawah.  

Apa itu Sekolah Lapangan?

Dalam literatur (Bahan Bacaan) yang say abaca, Sekolah Lapangan itu adalah konsep “sekolah tanpa dinding”, lahan sawah sebagai ruang kelas dan perpustakaannya. Peserta berkumpul seminggu sekali selama satu musim (12-14 minggu). Berkumpul itu bertujuan untuk memantau dan menganalisis perkembangan tanaman mereka dari satu fase ke fase berikutnya.

Mereka juga mendalami berbagai prinsip terkait dengan perkembangan tanaman, seperti dinamika populasi serangga, fisiologi tanaman, pemeliharaan kesuburan tanah, pengaruh air dan cuaca, pemilihan varietas, dan lainnya melalui serangkaian eksperimen yang mereka lakukan sendiri. Di samping kegiatan utama, ada juga serangkaian topik khusus yang disesuaikan dengan permasalahan spesifik di setiap lokasi.

Karakteristik utama dari Sekolah Lapangan adalah keterlibatan aktif petani sebagai pelaku, peneliti, pemandu, dan manajer lahan. Aspek “Pengembangan Manusia” dianggap sama pentingnya dengan ilmu pertanian dalam penyelenggaraan Sekolah Lapangan, tercermin dalam kegiatan perencanaan dan dinamika kelompok.

Konsep Sekolah Lapangan muncul sebagai respons terhadap dua tantangan utama yang saling berkaitan. Adalah keanekaragaman ekologi lokal dan peran penting petani yang harus menjadi “Ahli” dalam mengelola lahannya.

Sekolah Lapangan tidak hanya didefinisikan sebagai metodologi baru, tetapi juga mengembalikan esensi dari kata “Sekolah”, yaitu sebagai wadah, di mana peserta secara aktif memahami dan menerapkan proses pembelajaran ilmu. Proses pembelajaran di Sekolah Lapangan sangat terkait dengan pandangan bahwa manusia adalah makhluk yang aktif, kreatif, dan selalu mencari pemahaman tentang makna dan tujuan hidup.

Desain Sekolah Lapangan dibuat dengan tujuan agar petani memiliki kesempatan belajar yang maksimal, memungkinkan mereka untuk berinteraksi langsung dengan realitas pertanian yang mereka hadapi dan menemukan ilmu serta prinsip-prinsip yang relevan.

Oleh karena itu, pendekatan Sekolah Lapangan tidak hanya berfokus pada “Belajar Dari Pengalaman”. Ini adalah sebuah proses yang memungkinkan peserta didik, yang semuanya adalah orang dewasa, untuk memahami dan menguasai “Penemuan Ilmu” yang dinamis.

Ilmu ini dapat diterapkan, baik dalam manajemen lahan pertanian mereka maupun dalam kehidupan sehari-hari. Mengingat era saat ini penuh dengan perubahan, diharapkan bahwa melalui Sekolah Lapangan, petani akan dipersiapkan untuk menjadi lebih tangguh dalam menghadapi dinamika saat ini, dan tantangan di masa mendatang.

Ciri-ciri Sekolah Lapangan secara umum, adalah sebagai berikut

Sawah sebagai Sarana Belajar Utama Sekolah Lapangan. Ketrampilan budidaya pertanian ekologis-organik dan penganekaragaman tanaman padi adalah ketrampilan terapan. Oleh karena itu hampir 80% dari waktu keseluruhan digunakan langsung di sawah, bukan di kelas.

Cara Belajar Lewat Pengalaman. Setiap kegiatan dimulai dengan penghayatan atau pengamatan langsung, kemudian pengungkapan pengalaman, pengkajian hasil, dan penyimpulan hasil. Siklus belajar ini diusahakan dalam setiap kegiatan sekolah lapangan.

Pengkajian Agro-ekosistem. Sekolah lapangan terpola dalam siklus mingguan dimana setiap unsur agro-ekosistem dikaji secara sistematis dan mendalam. Hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa, perubahan keadaan agro-ekosistem sawah cukup berbeda antara minggu yang satu dengan minggu lainnya.

Tiap akhir minggu keadaan agro-ekosistem disusun secara utuh untuk pengkajian dan pengambilan keputusan manajemen lahan minggu berikutnya. Siklus ini menyerupai prinsip pantauan mingguan yang akan diterapkan di tingkat petani dan membiasakan peserta latihan untuk terus mengikuti perkembangan sawahnya selama satu musim, dari persiapan lahan sampai pasca panen.

Metoda serta Bahan yang Praktis dan Tepat Guna. Setiap kegiatan sekolah lapangan, beserta bahan penunjangnya, dirancang sedemikian rupa agar dapat diterapkan langsung oleh para petani di desa. Dengan demikian ketrampilan dan pengalaman yang diperoleh peserta akan menjadi bekal yang terkuasai, yang mudah dialihkan ke dalam tugas sehari-hari di tingkat desa.

Kurikulum Berdasarkan Ketrampilan yang Dibutuhkan. Kurikulum dirancang atas dasar analisis ketrampilan lapangan yang perlu dimiliki oleh seorang petani untuk menjadi ahli dalam pertanian ekolgis-organik dan penganekaragaman tanaman padi, agar ia sungguh-sungguh paham dan mampu menerapkannya di lahannya sendiri, serta meneruskannya kepada para petani lainnya.

Selain ketrampilan dan pengetahuan teknis pertanian, peserta memperoleh pula kecakapan dalam perencanaan kegiatan, kerjasama, dinamika kelompok, pengembangan bahan belajar, serta komunikasi, agar ia dapat menjadi fasilitator yang mampu merangsang dan membantu kelompok-kelompok tani secara efektif. Semoga tulisan pendek dan sederhana ini bermanfaat bagi kita bersama.[*]

Respon (1)

  1. Program Bupati Agam itu menurut saya tidak bisa diterapkan seketika begitu saja, karena harus diadakan penelitian dan pengkajian teknologi tentang penerapan peningkatan produksi dengan budidaya spesifik lokasi dan pelatihan bagi petugas lapang (ppl)dulu . Apalagi saat sekarang ini petugas ppl banyak yang baru dan belum semuanya berpengalaman membimbing petani untuk kegiatan Sekolah Lapang tersebut. Menurut saya perlu pengkajian terlebih dahulu. Tidak mungkin dengan pemberian jerami saja produksi akan meningkat.l tanpa diberikan sarana produksi seperti pupuk dan obat2an. Saya rasa masalah budidaya tanaman padi sawah semua petani padi sawah sudah mengerti dan sudah menerapkan, cuma saja, petani tidak mampu beli sarana produksi yang terlalu mahal.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *