Oleh Zihan Alya Hakim
Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam Fakultas Ushuluddin adab dan dakwah
Email zihanzihanalyahakim@gmail.com
Panggung politik Indonesia tidak pernah sepi dari warna-warni dinamika yang menyertainya. Politik selebritas kian ramai jadi perbincangan dan kerap menjadi menu hangat yang tidak ada habis-habisnya dalam pemberitaan media massa, baik cetak maupun elektronik.
Fenomena selebriti dari kalangan pemain film, penyanyi, comedian, dan sejenisnya yang terjun ke dalam dunia politik sebenarnya bukanlah hal yang baru di Indonesia. Dari pemilu ke pemilu atau pilkada ke pilkada, kaum selebriti kerap hadir menghiasi dunia perpolitikan.
Mereka membawa popularitas dan pengaruh besar dari media sosial, fenomena politik selebriti ini dapat dilihat melalui sudut pandang teori kekayaan media (media richness theory) yang memandang bagaimana kekayaan media komunikasi mempengaruhi interaksi dan persepsi publik terhadap selebritas yang kini berperan sebagai legislator.
Teori kekayaan media dipopulerkan oleh Richard L Daft dan Hobert H Lengel pada 1986 dalam artikelnya yang berjudul Organizational information requerements, media richness and struktursl design, dikatakan bahwa efektivitas komunikasi bergantung pada kekayaan media yang digunakan.
Media yang kaya mampu mengirimkan pesan yang kompleks dengan umpan balik yang cepat, mengandung berbagai isyarat nonverbal, dan memiliki kemampuan untuk memfasilitasi interaksi yang mendalam.
Dalam konteks selebritas yang saat ini banyak menjadi mentri dan anggota DPR, media sosial seperti Instagram, Twitter, dan Youtube menjadi platform yang sangat kaya dalam memfasilitasi interaksi antara selebritas dan pengikut mereka.
Media ini memungkinkan para selebritas dan pengikut mereka untuk memperkuat hubungan parasional dengan para penggemar mereka yang sebelumnnya dibangun melalui interaksi satu arah di dunia hiburan. Hubungan parasional ini memberi selebritas keuntungan yang unik dalam politik. Mereka dapat memanfaatkan popularitas dan kedekatan emosional yang sudah terjalin dengan public untuk membangun dukungan dalam berpolitik.
Harus diakui popularitas Tengah mengipnotis idealisme menjadi pragmatism bagi politisi saat ini. Popularitas bak opium yang memabukan. Mirisnya banyak elit politik juga larut dalam mabuk popularitas tersebut.walaupun dalam dunia demokrasi siapapun dapat memiliki hak untuk berekspresi.
Tidak terkecuali para selebriti untuk masuk dalam dunia politik. Bagi yang menyanggah atau menentang bisa jadi mereka dianggap bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi yang mengagungkan kebebasan, meskipun kebebasan tersebut pasti ada Batasan.
Dengan begitu banyak partai politik yang memanfaatkan para public figure untuk dijadikan daya Tarik dalam meningkatkan simpatisan Masyarakat. Mereka tidak terlalu susah untuk mengeluarkan uang atau modal banyak dalam pesta demokrasi, di sisi lain keterlibatan artis dalam politik memiliki sisi negativ yang signifikan.
Pertama, banyaknya artis yang hanya memiliki popularitas namun tidak memiliki pemahaman tentang isu-isu politik sehingga menghambat efektivitas dalam menjalankan tugas politik, kedua popularitas artis seringkali menjadi alassan utama dukungan tanpa mencari tahu latar belakang artis terlebih dahulu.
Jika artis yang menjadi politikus tidak menjalankan tugasnya dengan baik hal ini dapat merusak citra politik dan menurunkan kepercayaan Masyarakat terhadap sistem politik. Dengan demikian diharapkan partai politik untuk lebih mengedepankan pemikiran tidak hanya mementingkan popularitas semata. Melainkan meningkatkan kualitas calon.
Kemudian Tidak kalah penting kaderisasi terhadap anggota partai politik untuk sistem politik yang semestinya. Dimana politik menjadi cerminan dari nilai-nilai Kebajikan dan tanggung jawab terhadap kepentingan umum bukan hanya untuk ajang berlomba-lomba untuk menduduki tahta demokrasi.[*]
Sangat setuju dengan Artikel nya zihan alya hakim