PAINAN, Marapi Post-Pakar Sosiologi Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol Padang, Muhammad Taufik, ikut berkomentar terhadap kasus hukum yang menimpa Rusma Yul Anwar Bupati Pesisir Selatan, Sumatera Barat, Rusman Yul Anwar. Kini kasus tersebut kembali diapungkan dan dihembuskan lawan politik Rusma Yul Anwar.
Menurut Muhammad Taufik, ada kekosongan hukum terhadap persoalan kasus yang menjerat Rusma Yul Anwar Bupati Pesisir Selatan itu, yang kini dimanfaatkan lawan politiknya, terang Muhammad Taufik Senin (27/9/2021pada wartawan.
Dijelaskannya, berdasarkan UU Nomor 10 tahun 2016, tentang Pilkada, Rusma Yul Anwar diperbolehkan maju dan menjadi pemenang dalam Pilkada Pessel, meskipun dia sedang menjalani proses hukum.
Namun, setelah meraih kemenangan, tidak ada jaminan bagi negara untuk ia bisa berbakti. Sehingga rentan, jadi bulan-bulanan dan rentan diboncengi kepentingan lawan politiknya.
“Benar, di satu sisi, UU membolehkan maju, di lain sisi, tidak ada jaminan negara agar mereka bisa menunaikan tugas setelah terpilih. Nah, disinilah kekosongan hukum itu terjadi”, kata Taufik.
Ia menambahkan, kekosongan hukum secara tidak langsung itu dianggap mengangkangi konstitusi negara. Sebab, dari keputusan politik rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi di negara demokrasi, menjadi terabaikan. Keputusan politiknya-pun tergerus begitu saja.
“Karena itu saya yakin, kalau pertarungan kasus Rusma Yul Anwar tidak hanya pertarungan di level hukum”, terangnya.
Namun demikian kata Muhammad Taufik, terhadap kasus hukum yang kini jadi bulan-bulanan lawan politik Rusma Yul Anwar, ia menilai hakim Mahkamah Agung (MA) harus melihat secara progresif dan komprehensif terhadap putusan hukum Bupati Pessel, Rusma Yul Anwar.
Sebab menurutnya lagi, hakim tidak hanya menilainya atas dasar putusan pengadilan dan fakta-fakta terdahulu semata.
Sejatinya harus menilik secara utuh dan melihat azaz manfaatnya. Sebab, persoalan yang kini mendera mantan wakil bupati itu tidak sekedar persoalan hukum, namun telah terkontaminasi atas kepentingan politik. Hendak ada rasa keadilan, ujarnya Muhammad Taufik.
Sebelumnya diketahui, bergulirnya kasus yang melilit Rusma Yul Anwar, dulunya merupakan seorang wakil Bupati Pessel, bermula dari laporan dengan surat bernomor 660/152/DLH-PS/2018.
Waktu itu, Rusma Yul Anwar dilaporkan masalah pengrusakan lingkungan hidup hutan mangrove di kawasan Mandeh. Laporan itu disampaikan kepada Kementerian Lingkungan dan Kehutanan RI dan Jaksa Agung.
Namun, dalam eksepsinya, Rusma Yul Anwar menyebut dalam laporan itu, selain dirinya ada tiga nama lain. Ketiganya antara lain adalah mantan pejabat Pessel, salah seorangnya oknum polisi dan seorang pengusaha, dengan luas kerusakkan yang lebih parah.
Tapi, ternyata hendak dikata, proses hukum tak sesuai kehendak Rusma Yul Anwar, karena yang bergulir hanya atas dirinya seorang. Dalam kasus itu, ia divonis satu tahun penjara dan PN kelas 1A Padang menjatuhkan denda Rp1 miliar. Hal itu dinilai terkesan tebang pilih.
Pasal yang dikenakan 109 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup atas melakukan kegiatan usaha tanpa memiliki izin lingkungan. Bukan soal perusakan Mangrove.
Mestinya disini hakim lebih arif untuk menelaah dan melihat sebuah keputusan, karena semua aspek harus menjadi pertimbangan. Tidak terkecuali aspek politik dan dampak sosial yang akan ditimbulkan di tengah kondusifitas Pessel, terang Muhammad Taufik.
Dalam persoalan kasus Rusma Yul Anwar, hari ini hakim Mahkamah Agung sebagai pengambil keputusan tertinggi harus benar-benar melihat kasus Rusma Yul Anwar secara progresif dan komprehensif.
Kalau tidak begitu, akan terjadi dampak hukum dengan aspek yang luas, terutama atas kelangsungan kondusifitas daerah dan jalan pemerintahan daerah yang sesuai nawacita Presiden Jokowi membangun mulai dari pinggir.
“MA seharusnya progresif dan komprehensif melihat kasus ini, supaya persoalan bawah, unsur politik, apapun namanya bisa menjadi pertimbangan dalam keputusan yang berkeadilan,” tuturnya.(YN)