By Iron Maria Edi
Dalam alam budaya Minangkabau mengenal sebuah konsep pengambilan keputusan bersama berdasarkan sumbernya, yang konsep ini telah diuji dan membumi di ranah Bundo ini. Konsep itu adalah sebuah keputusan yang bersumber dari sebuah kebenaran yang hakiki yang dikenal dengan “titiak dari ateh” dan sebuah keputusan yang bersumber dari sebuah perdebatan mencari kebenaran dalam masyarakat yang dikenal dengan “mambusek dari bumi”. Kedua konsep ini kemudian dikenal dengan bentukan tatanan pengambilan keputusan di Alam Minangkabau dengan istilah Koto Piliang dan Bodi Caniago. Corak ini kemudian melahirkan tatanan masyarakat hukum adat di nagari – nagari Minangkabau yang membagi habis wilayah Alam Minangkabau. Jadi setiap jengkal tanah Alam Minangkabau telah ditata melalui tatanan masyarakat hukum adat yang ada dan eksis sampai saat ini.
Sementara dalam perspektif bernegara dewasa ini, kita selaku warga negara juga di layani dengan tatanan modern lembaga pemerintahan desa dengan kelengkapan struktur, fungsi, tugas dan kewenangannya. Dia hadir dilandaskan dengan ketentuan – ketentuan hukum dan perundang undangan yang jelas dan tertuliskan. Setiap keputusan yang di ambil dalam pemerintahan desa/ nagari lebih mendekati kepada posisi pengejawantahan dari kebijakan struktur yang lebih tinggi. Di wilayah masyarakat hukum adat di Minangkabau juga menjadi bagian yang tidak bisa terpisahkan dengan layanan ini, karena menjadi sebuah konsekwensi dari terintegrasinya Minangkabau dalam sistem Negara yang juga wajib eksis yang dibuktikan juga dengan terbagi habisnya Alam Minangkabau dengan penataan wilayah – wilayah pemerintahan Desa.
Dua tatanan yang berbeda ini ternyata dipertemukan dalam perspektif eksis, sehingga di Alam Minangkabau dewasa ini hadir peran – peran dalam tatanan masyarakat hukum adat dan peran dalam tatanan pemerintahan desa di pedesaan /nagari Minangkabau yang sama – sama eksis. Seperti peran niniak mamak, alim ulama, cadiak pandai, bundo kanduang, dan dubalang adat di tatanan masyarakat hukum adat, dan peran Walinagari, Anggota Bamus, Perangkat Desa/Nagari dengan lembaga lembaga modernnya di tatanan Pemerintahan Desa/Nagari. Dua tatanan berbeda ini dipahami beragam oleh pemuka dan tokoh yang melahirkan keputusan – keputusan yang produktif bahkan juga tidak produktif bagi layanan pemerintahan terhadap warganya. Ada kondisi Desa/Nagari yang dekat sekali rentang layanannya, dan bahkan ada Desa/Nagari yang sangat luas rentang layanannya.
Keluarnya UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa kemudian menegaskan standarisasi bagi sebuah Pemerintahan Desa. Salah satu standar adalah seorang Kepala Desa / Walinagari dengan perangkatnya melayani lebih kurang 4000 jiwa dan banyak indikator lain yang menjadi ukuran capaian dan kewenangan Pemerintahan Desa. Dengan keberagaman kondisi yang ada di pedesaan maka dibutuhkan penataan Desa yang juga ikut diatur dalam UU dimaksud.
Salareh Aia yang menjadi sebuah wilayah yang terbentuk oleh 2 Tatanan Masyarakat Hukum Adat yang kemudian dikenal dengan Langgam Saripado dan Langgam Rajo Nan Balimo atau juga disebut Panghulu Nan Balimo yang sampai saat ini eksis, menghadirkan keputusan bongkar pasang layanan pemerintahan Desa/Nagarinya. Mulai dari 1 Nagari disaat orde lama, 3 Desa disaat orde baru, dan 1 Nagari kembali disaat bergulirnya otonomi daerah, dan saat ini juga disandarkan pada standar layanan satu desa yang memiliki lebih kurang 4000 jiwa, yang kemudian terbagi kedalam 4 Pemerintahan Desa/Nagari yang defenitif yaitu Salareh Aia, Salareh Aia Timur, Salareh Aia Utara dan Salareh Aia Barat dalam rezim UU No 6 Tahun 2014 Tentang Desa.
Terjadinya penyesuaian – penyesuaian layanan Pemerintahan Desa/Nagari ini di Salareh Aia tidak terlepas dari target optimalisasi layanan pemerintahan kepada setiap warga negara di Salareh Aia. Dengan hadirnya Pemerintahan Desa/Nagari yang telah sesuai dengan standar perundang undangan maka diharapkan mampu memberikan layanan terbaik untuk warganya. Sebalumnya satu Pemerintahan Desa/Nagari melayani 16.000 jiwa, maka saat ini masyarakat Salareh Aia memiliki 4 Pemerintahan Nagari yang masing – masing lebih kurang melayani 4.000 jiwa. Maka upaya penataan Desa/Nagari di Salareh Aia telah berada pada jalur yang standar, tinggal peningkatan manajemen dan pengelolaan menuju optimalisasi layanan yang diupayakan.
Bagaimana dengan penataan Masyarakat Hukum Adat, ternyata juga pada tatanan bernegara juga telah dibuka slot pengakuan Negara terhadap Masyarakat Hukum Adat (MHA) yang ada di Republik ini, yang dalam hal ini Langgam Saripado dan Langgam Rajo Nan Balimo atau Panghulu Nan Balimo di Salareh Aia membutuhkan episode baru penataan yang distandarisasi Negara melalui ketentuan – ketentuan terhadap Masyarakat Hukum Adat itu, jika dibutuhkan oleh para pemangku – pemangku adat dimaksud. Sederhana sekali, ajukan untuk mendapatkan keputusan Bupati Agam dan register di Depdagri maka Republik akan menghormati penuh sebagai sebuah Masyarakat Hukum Adat yang memperkaya keberagaman dan multikulturalisme bangsa Indonesia, seyogya nya akan menarik buat Minangkabau kedepan jika Tatanan Pemerintahan Desa/Nagari nya tertata dengan baik yang merupakan produk “Titiak Dari Ateh”, dan tatanan Masyarakat Hukum Adat (MHA) nya juga tertata dengan manis untuk penguatan budaya Bangsa dari Minangkabau sebagai produk “Mambusek Dari Bumi”.