PEKANBARU, Marapi Post-Sidang lanjutan Tipikor terhadap terdakwa dr Misri di Pengadilan Negeri Pekanbaru, Senin (24/10/2022), Pebasehat Hukum (PH) terdakwa dr Misri menyampaikan Pembelaan/Pleidoi secara tertulis di ruang Sialang PN jalan Teratai Pekanbaru.
Pada sidang sidang sebelumnya telah dilakukan pemeriksaan Saksi saksi, Saksi Ahli, dan terdakwa serta Penuntutan oleh JPU, maka sidang selanjutnya adalah Sidang Pleidoi yang disampaikan oleh PH dan terdakwa sendiri.
Sebagaimana yang telah kita saksikan bersama bahwa perkara ini sejak awal banyak terjadi kejanggalan, Kesaksian palsu oleh Marisa, Saksi yang berbohong, hasil audit dari Inspektorat Daerah yang diragukan kebenarannya, karena Ahli menggunakan Data tidak lengkap dan tidak akurat.
Bahkan kesaksian Drs H Irwan M.Si dengan tegas mengatakan bahwa dr H Misri selaku Kepala Dinkes Meranti melaksanakan upaya Pencegagan dan Penanganan Covid-19 atas kebijakan dan Perintahnya. Apalagi kegiatan Rapid test KPU dan Bawaslu Meranti telah dilakukan MOU tiga pihak, yaitu: MOU Bupati Kepulauan Meranti, Dinas Kesehatan, dan KPU/Bawaslu. Guna mendukung Tahapan Pilkada tahun 2020 yang lalu.
Kesaksian Pakar Hukum Pidana Prof DR H Elwi Danil SH MH, telah membuat Legal Openi (Pendapat hukum) terhadap perkara yang sedang dihadapi terdakwa dr Misri di Pengadilan Tipikor.
Diantaranya, kata PH; pertama, terdapat indikator yang didakwakan JPU bersinggungan dengan Nebis in idem, karena memiliki karakteristik, jenis, dan sifat yang sama dengan kasus sebelumnya.
Kedua, perbuatan memiliki objek yang sama, seharusnya penempatan kedua perbuatan dalam satu dakwaan dan tuntutan. Seharusnya kasus sekarang diintegerasikan dengan kasus sebelumnya, guna untuk menghindari penuntutan dua kali terhadap perbuatan yang sama sifat, karateristik, dan jenisnya, karena telah dituntut dalam perkara sebelumnya.
Hal ini sesuai dengan Pasal 76 ayat (1) KUHP, dimana seseorang tidak boleh dituntut dua kali. Apalagi kasus kegiatan Rapid test Antibody Bawaslu telah divonis pada putusan PN Nomor 52/Pid.Sus-TPK/2021/PN Pbr, tanggal 15 Maret 2021 yang lalu. Pada perkara sekarang muncul lagi terkait kegiatan rapid test Bawaslu tersebut. Ini artinya JPU tidak konsisten dalam menerapkan Hukum kepada terdakwa.
Seperti biasa, sidang dipimpin Ketua Majelis Hakim Effendi SH dan 2 hakim anggota, Jaksa Penuntut Umum Kajari Kepulauan Meranti Taufan SH. Sidang dimulai sekitar pukul 14.00 wib hingga pukul 16.00 wib. Sidang digelar secara Online.
Penasehat Hukum terdakwa Emi Afrijon SH & Patners, dan Majelis Hakim berada di ruang Sidang PN jalan Teratai Pekanbaru, terdakwa berada di Rutan Sialang Bungkuk Pekanbaru, JPU berada di Kantor Kajari Kepulauan Meranti di Selatpanjang.
Dijelas Emi Afrijon SH, pembelaan terhadap terdakwa dr Misri mulai menemui titik terang, sebab sejak awal sudah nampak kejanggalan kejanggalan dalam persidangan sebulumnya diantaranya.
Saksi Marisa diduga kuat telah berbohong dalam memberikan kesaksian di depan pengadilan, padahal dr Misri mempunyai bukti Faktur Pembelian, bahwa PT AJB membeli Rapid Antibody (Merck Whole Power) yang dijual pada KPU Meranti melalui Klinik Hang Hang Tuah.
Ini terjadi pada akhir bulan Agustus 2020. PT AJB telah mengakui bahwa Proses Pengadaan Rapid KPU dilakukan setelah hasil Reviu BPKP keluar (hasil Reviu BPKP keluar 14 September 2020), dimana Tafdhil Abrar telah berjumpa dengan dr Misri di Rutan Pekanbaru Kamis tanggal 25 Agustus 2022 dan mengakui Perjanjian Kontrak Pengadaan Rapid test KPU Meranti dibuat bulan Juli 2020, hanya untuk kepentingan KPU Meranti saja.
Kejanggalan lain adalah kesaksian yang berbohong adalah dr Antonius. Dimana dr Antonius memberikan keterangan bahwa tidak ada menerima pengembalian rapid antibody KPU dan Bawaslu pada bulan November 2020.
Pada hal yang menerima Rapid tersebut adalah Widya Hartila di kantor Instalasi Farmasi, karena saat itu dr Antonius sedang Cuti. Akhirnya Rapid antibody tersebut dikembalikan lagi ke Kantor Dinkes melalui Ishardi SKM selaku pengurus barang.
Kejanggalan yang paling parah adalah hasil audit dari Hendri SKM dari Inspektorat Daerah Meranti, dimana audit dilakukan dengan menggunakan data tidak lengkap, data tidak akurat, dan tidak valid serta informasi yang tidak valid.
Sehingga hasil auditnya diragukan kebenarannya. Menurut penjelasan terdakwa, pelaksanaan rapid test KPU dan Bawaslu bukan hanya dari 10 UPT Puskesmas, tetapi ada dari tim medis Ruang Isolasi BLK (Tim dr Nurul Ayu Pratiwi).
Dimana dr Nurul telah melakukan pemeriksaan rapid bagi anggota KPU dan Bawaslu sebanyak 630 orang. Terdiri dari 410 orang pada pemeriksaan pertama dan 220 orang pada pemeriksaan kedua, 2 alat rapid test tidak terpakai.
Pada pemeriksaan kedua ini adalah pemeriksaan Rapid test antibody bagi petugas KPU dan Bawaslu yang tidak datang ke Upt Puskesmas, sehingga harus diperiksa di kantor Dinkes Meranti. Hal ini sesuai dengan kesaksian Ishardi SKM sebelumnya.
Untuk Jasa Pemeriksaannya dr Nurul dan anggota Tim telah menerima sepenuhnya, ini dibuktikan pada BAP dr Nurul Ayu Pratiwi pada kasus pertama dan kesaksiannya saat persidangan.
Bahkan Ahli Hendri SKM memasukan Rapid test Antibody yang disita Jaksa sebanyak 1.680 pcs yang masih bernilai ekonomis saat disita sebagai Kerugian Negara, seharusnya barang sitaan yang masih bernilai ekonomis tidak bisa dijadikan Kerugian Negara, ujar Prof Dr Elwi Danil SH MH sebelumnya.
Akibat data yang digunakan Hendri SKM tidak lengkap, tidak valid, dan tidak akurat, serta informasi yang tidak valid, maka hasil auditnya dapat diabaikan. “Dari kebohongan Marisa dan hasil audit Hendri SKM inilah saya dijadikan tersangka pada kasus kedua ini, papar dr Misri saat menyampaikan Pleidoi pada persidangan ini Senin, (24/10/2022).
Selanjutnya dijelaskan dr Misri, Jasa Sarana Prasarana dibelikan untuk membeli Alat Pelindung Diri (APD), Jasa Pemeriksaan Rapid test yang belum dibayarkan digunakan untuk menalangi biaya biaya kegiatan PSST Desa Bandul yang tidak cukup, Kegiatan PSBM Desa Tanjung Peranap yang tidak cair sama sekali, dan Renovasi Klinik Polres Meranti yang akan digunakan untuk Ruang isolasi Covid-19.
Hal ini dilakukan atas perintah bupati, setelah diadakan rapat internal Dinkes dan rapat di Inspektorat. “Bahkan sampai uang pribadi sayapun banyak terpakai untuk menalangi pencegahan wabah Covid-19 ini”, terang dr Misri.
Jadi dr Misri ini adalah korban terhadap situasi darurat kesehatan masyarakat dalam upaya menyelamatkan masyarakat Kepulauan Meranti dari wabah Covid-19, malah ia pula yang ditangkap dan ditahan aparat penegak hukum dengan tuduhan yang tidak jelas sama sekali.
Jelas dr Misri, uang pribadinya terpakai ratusan juta rupiah, padahal ia hanya menjalankan kebijakan pimpinan (Bupati Meranti saat itu Drs H Irwan M Si). Penalangan dana kegiatan PSST Desa Bandul dan PSBM Desa Tanjung Peranap itu dilakukan setelah rapat internal Dinkes Meranti dan bersurat Bupati Kepulauan Meranti saat itu.
Selanjutnya Bupati membuat disposisi pada Inspektorat Daerah Meranti agar dicarikan solusinya. Makanya dr Misri, katanya, berani menalanginya terlebih dahulu menggunakan dana Jasa Pemeriksaan Rapid test.
Sampai hari ini masih ada hutang kegiatan PSBM Desa Tanjung Peranap yang belum terbayarkan. Yang terjadi justeru kerugian terdakwa sendiri (dr Misri), lantas siapa yang harus bertanggung jawab atas kerugian saya ini.
Bahkan negara telah menjamin bahwa penyelenggara negara tidak dapat dituntut secara perdata dan pidana dalam upaya pencegahan wabah covid-19, sepanjang penyelenggara negara mempunyai itikat yang baik.
Demikian bunyi pasal 27 Undang undang Nomor 2 tahun 2020, sesuai dengan legal opini Prof DR H Elwi Danil SH MH saat bersaksi pada sidang sebelumnya. Jadi sekarang dimana letak kesalahan yang saya buat, ujar dr Misri, dengan penuh keheranan.
Saat dr Misri membacakan Pleidoi fakta sebenarnya justru uang dr Misri yang terpakai untuk negara, karena itu dr Misri minta keadilan pada Yang Mulia Majelis Hakim, agar semua uang terdakwa yang terpakai demi menyelamatkan warga Meranti dari wabah penularan Covid-19 agar dapat diganti oleh negara melalui sidang putusan ini nantinya, ujar dr Misri bersemangat dan Penuh harap.
Kata dr Misri, JPU tidak berpedoman pada prinsip “Keselamatan Masyarakat adalah Hukum Tertinggi”, padahal saat itu negara dalam kondisi darurat kesehatan masyarakat, khususnya bahaya Covid-19, terang dr Misri.
Berdasarkan pleidoi terdakwa dr Misri dan pleidoi PH Emi Afrijon SH dipersidangan, menyatakan bahwa dakwaan dan tuntutan JPU tidak terbukti, sehingga sama sama minta pada yang Mulia Majelis Hakim; menyatakan terdakwa dr H Misri Hasanto M. Kes terbukti tidak bersalah melakukan Tipikor sebagaimana dalam dakwaan kesatu Subsider Penuntut Umum.
Dakwaan penuntut umum pasal 3 jo pasal 18 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah dirubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001, tentang Pemberantasan Tipikor, membebaskan terdakwa dari segala dakwaan atau tuntutan hukum, membebaskan terdakwa dari tahanan, memulihkan hak terdakwa dari segala kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya, membebankan biaya perkara kepada negara, pungkasnya.[rel/lk]