Uncategorized

Ismail, Murid SDIT Sang Pembantu Ayah, Batal Menunggang Kuda

×

Ismail, Murid SDIT Sang Pembantu Ayah, Batal Menunggang Kuda

Sebarkan artikel ini

Penulis Hasneril, SE

LUBUK BASUNG, marapipost.com-Tiga tahun lalu, ada satu kisah kecil yang membekas dalam diam. Seorang anak kelas 6 SD IT Al-Madany Lubuk Basung, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, batal menunggang kuda saat study tour perpisahan ke Bukittinggi. Namanya Muhammad  Ismail Hasan Panggilan Ismail.

Ismail disamping murid di SD IT juga membantu ayah berjualan Botol Minuman My Botol dan main kunci yang dijual ke teman-teman.

Pagi itu, halaman sekolah dipenuhi kegembiraan. Dua bus pariwisata besar terparkir di depan gerbang, siap membawa para siswa kelas 6 menuju Bukittinggi dan Bukit Ambacang. Semua murid tampak antusias. Di tengah keramaian itu, seorang ayah tampak menggandeng anaknya, Ismail.

Ia bertanya lembut, “Ismail, uangnya sudah ada, Nak?” Ismail mengangguk, “Sudah, Yah. Cukup kok.” Keduanya berjabat tangan. Lalu Ismail bergegas menaiki bus, menyimpan semangat dalam senyumnya, sang ayah berdiri diluar sambil melambaikan tangan arah ke mobil yang mulai bergerak pelan-pelan.

Sesampainya di Bukit Ambacang, rombongan langsung menuju lokasi wisata berkuda. Semua anak tak sabar sepertinya dan ingin cepat naik kuda termasuk Ismail , sesuai arahan guru semua berbaris, tak sabar menunggangi kuda itu juga ada pada Ismail. 

Begitu tiba giliran Ismail, petugas menagih ongkos: Rp25.000. Ismail tercekat. Ia membuka dompet kecilnya, menghitung uangnya yang tersisa-hanya Rp15.000. Ia diam, lalu mundur. Tak jadi. Ia hanya berdiri menatap teman-temannya satu per satu menaiki kuda dengan wajah riang. Sedangkan hatinya, pelan-pelan meredup.

Sebenarnya Ismail ada punya uang Rp25 ribu dibawa dan Rp10 ribu dikasihkan  sama teman yang tidak punya uang dan juga tidak menyangka uang Rp25.000, tidak cukup, karena bagi ismail itu sudah cukup besar uang sebanyak itu dan tidak mengira akan pergi jauh dan juga ada permainan.

Sesampainya di rumah, wajah Ismail murung. Ibunya bertanya, dan Ismail hanya menjawab lirih, “Ibu, Ismail ingin naik kuda… tapi uangnya nggak cukup. ”Sejak hari itu, setiap kali melintasi Bukit Ambacang dalam perjalanan pulang ke kampung, Ismail hanya memandang diam dari balik jendela mobil . Wajahnya penuh kesan dan ingatan yang belum selesai. Kuda-kuda itu seakan memanggilnya, tapi ia tak bisa menjawab.

Hingga hari itu tiba.

Tiga tahun berlalu. Di Pesantren Alquran Darul Inqilabi Karang Intan Kabupaten Banjar, tempatnya kini menimba ilmu dan menghafal Alquran, Ismail akhirnya kembali bertemu kuda.

Dalam rangkaian kegiatan santri baru, seluruh peserta diberikan kesempatan menunggangi kuda. Termasuk Ismail.

Awalnya di umumkan di WA wali santri pondok PADI Pusat di Karang Intan siapa yang ingin menunggang kuda, sang ayah langsung daftarkan ismail karena  teringat kisah Ismail tak jadi naik kuda.

Kali ini tak ada petugas yang menagih uang ke santri karena semua lewat orang tua , tak ada rasa minder, tak ada beban. Hanya ada senyum lebar di wajahnya. Ismail naik ke atas pelana dengan penuh keyakinan. Tangan kecilnya menggenggam tali kendali, dan langkah kudanya perlahan menghapus luka tiga tahun yang lalu.

Saat kuda itu berderap di lapangan pesantren, ada haru yang mengalir diam-diam. Ismail tak lagi hanya menjadi penonton.

Hari itu, bukan sekadar ia berhasil menunggang kuda. Tapi karena impian masa kecilnya akhirnya tuntas-dengan cara yang sangat indah. Dan barangkali, ini cara Tuhan menyampaikan bahwa setiap harapan kecil tak pernah sia-sia.[*]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *