DELI SERDANG, marapipost.com–Beberapa kepala desa (kades) di Kecamatan Tanjung Morawa, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, mengeluhkan kebijakan Camat Tanjung Morawa, Ibnu Hajar, yang dianggap memberatkan. Para kades diharuskan membayar Rp6,5 juta per desa untuk biaya seragam dan pelatihan anggota Pasukan Pengibar Bendera (Paskibra) dalam rangka HUT RI ke-79, Selasa (13/8/2024).
Kebijakan ini dinilai sangat membebani desa, terutama mengingat besarnya jumlah yang harus dikeluarkan. Salah satu kades yang enggan disebutkan namanya mengungkapkan, bahwa mereka merasa dipaksa oleh camat untuk mengalokasikan dana tersebut. “Dari mana kami bisa mendapatkan uang sebanyak itu? Kebijakan camat ini gila, kami dipaksa menyetor Rp 6,5 juta, bahkan diminta untuk memasukkan biaya ini ke dalam Anggaran Dana Desa (ADD),” ungkapnya.
Camat Tanjung Morawa, Ibnu Hajar, diduga telah bekerjasama dengan lembaga pelatihan tertentu, yang memaksa setiap desa untuk menyetor sejumlah besar uang. Dengan dalih pelatihan penguatan ideologi Pancasila dan karakter kebangsaan bagi anggota Paskibra, camat menggandeng lembaga Trimitra untuk melaksanakan pelatihan tersebut dalam dua gelombang 13-14 Agustus di Jalan Dahlan, Tanjung Morawa, dan 15-16 Agustus di Lapangan Piston, Tanjung Morawa.
Para kades mencurigai bahwa camat sengaja memanfaatkan momen HUT RI untuk menggalang dana melalui lembaga ini. “Kami sangat terbebani dengan biaya sebesar Rp6,5 juta ini. Tahun lalu, kami hanya diminta Rp 500 ribu untuk partisipasi,” keluh beberapa kades yang meminta namanya tidak dipublikasikan.
Di Kecamatan Tanjung Morawa, terdapat 25 desa dan satu kelurahan. Jika setiap desa diwajibkan menyetor Rp6,5 juta, total dana yang terkumpul mencapai Rp162,5 juta, belum termasuk sumbangan dari pengusaha setempat. “Camat kami saat ini sangat menekan. Jika tidak mengikuti aturan, administrasi desa kami dipersulit. Bahkan, hari ini semua kades harus sudah membayar lunas,” tegas seorang kades, mengungkapkan kekhawatirannya.
Saat dikonfirmasi, Camat Tanjung Morawa, Ibnu Hajar, mengakui adanya kutipan sebesar Rp6,5 juta dari setiap desa. Ia menjelaskan bahwa dana tersebut digunakan untuk pelatihan dan seragam Paskibra yang diambil dari perwakilan setiap desa. “Anggota Paskibra tahun ini tidak kita rekrut dari sekolah-sekolah, melainkan dari desa. Jadi, kepala desa yang harus menyiapkan dananya,” ujarnya.
Ibnu Hajar juga menegaskan bahwa anggaran Rp6,5 juta tersebut sebaiknya dimasukkan ke dalam Anggaran Dana Desa (ADD) karena merupakan tanggung jawab masing-masing desa. “Ada beberapa kepala desa yang belum menyetorkan dana tersebut,” tambahnya.
Kasus ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan kepala desa dan memicu pertanyaan tentang transparansi dan etika dalam pengelolaan dana desa, terutama terkait pelaksanaan kegiatan yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah, bukan desa.[Rizky Zulianda]