Oleh Annisa Mawaddah
Mahasiswa Universitas Negeri Padang (UNP)
Minangkabau merupakan sebuah wilayah yang berada di pesisir pantai Sumatera, dengan kontur wilayah yang masuk kedalam bagian dari Sumatera tengah pada tempo doeloe, dan secara Geografis, Minangkabau terbagi menjadi tiga Luhak atau tiga teritorial wilayah yang berbeda, yaitu Luhak Lima puluh kota, Luhak Agam dan Luhak Tanah datar.
Dan itu semua berada ditengah tengah pedalaman Sumatera, tapatnya dikaki merapi, sampai pada abad ke 13, masyarakat Minangkabau mulai mengenal sistem Agama yang pada saat itu dikenal sebagai agama Hindu dan Budha.
Pada abad itu juga, masyarakat Minangkabau yang berada didaerah Pesisir Pantai Sumatera, telah mengenal akan ajaran Islam, akan tetapi belum satupun yang mencoba ataupun masuk pengikutnya. Pada abad ke 16, lahirlah seorang anak laki laki yang bernama Pono. Pono dilahirkan ibunya Guguak Sikaladi, Pariangan Padang Panjang, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat.
Ia berasal dari keluarga bangsawan. Ayahnya Pampak Sati Karimun Merah, dikenal sebagai seorang petapa sakti yang juga dikenal sebagai “Datu” (pemberi obat). Ibunya seorang “puteri” yang dipanggil dengan Puteri Cukuik Bilang Pandai. Dalam tradisi Minangkabau yang dikenal dengan sistem matrilineal, Burhanuddin (pono) berasal dari suku Guci, disebabkan ibunya juga berasal dari Suku Guci.
Pada tahun 1916 Burhanuddin muda pergi ke Aceh untuk belajar agama Islam kepada Syekh ‘Abd al-Ra’uf al-Fanshūri (w. 1105/1693). Burhanuddin belajar selama tiga puluh tahun, yakni dua tahun di Singkil dan dua puluh delapan tahun di Banda Aceh yaitu sejak ‘Abd al-Ra’ūf dilantik oleh Sultanah Shafiyatuddin Shah (m. 1641-1675) sebagai Mufti atau Hakim.
Dan setelah menamatkan belajar Agama Islam, beliau kembali ke Minangkabau pada 1680. Namun sebelum hari kepulangannya ke Minangkabau Pono diberi nama baru oleh ‘Abd al-Ra’uf dengan “Burhanuddin”. Sejak itu resmilah Pono memakai nama barunya yaitu Burhanuddin.
Burhanuddin dilepas pulang ke Minangkabau oleh gurunya. Sesampainya di Minangkabau, Burhanuddin memilih Ulakan sebagai tempat menetap. Di daerah inilah Burhanuddin memulai upaya islamisasi Minangkabau bersama para sahabat dan murid-muridnya dengan mendirikan surau di Tanjung Medan, Ulakan.
Maka di Ulakan inilah, semua sepak terjang Syekh Burhanuddin memulai untuk menunjukkan kiprahnya sebagai seorang ulama menyebarkan Islam ditanah Minangkabau, meskipun pada masa itu, kata kata Islam bukan lah suatu hal yang asing ditelinga masyarakat Minangkabau, karena telah hadirnya mubalig lain yang mengajarkan agama Islam diminangkabau, sebelum Burhanuddin hadir ditengah tengah Masyarakat Minangkabau.
Burhanuddin menyebarkan agama Islam adalah melalui Surau. Salah satu surau yang didirikannya adalah Surau Tanjung Medan. Fungsi utamanya Surau Tanjung Medan itu ialah sebagai lembaga pendidikan Islam, yaitu tempat mendidik kader ulama penerus untuk masa yang akan datang.
Surau yang didirikan Burhanuddin dipandang sebagai surau pertama yang menjadi cikal bakal lembaga pendidikan Islam di Minangkabau (sejenis pesantren di Jawa). Di zamannya, surau Burhanuddin dikenal sebagai satu-satunya pusat pendidikan Islam di Minangkabau.
Ketokohan Syekh Burhanuddin telah menjadi daya tarik tersendiri, sehingga banyak pemuda dari berbagai pelosok Minangkabau datang belajar ke Surau Tanjung Medan. Mereka kelak menjadi penyambung tongkat estafet Syekh Burhanuddin dalam menyebarkan ajaran Islam secara umum dan ajaran Tarekat Syaththariyyah secara khusus.
Di sekitar Surau Tanjung Medan, berdiri surau-surau kecil yang dihuni oleh para pelajar dari berbagai daerah di Minangkabau, Riau dan Jambi. Dan di sekitar surau induk Tanjung Medan, yang sampai sekarang masih terjaga keasliannya, berdiri puluhan surau-surau kecil yang digunakan sebagai tempat tinggal.
Selain sebagai lembaga pendidikan Islam yang mendidik kader ulama secara khusus, surau Syekh Burhanuddin juga berfungsi sebagai pusat pendidikan masyarakat. Masyarakat Ulakan yang baru saja memeluk Islam tentu perlu dibekali dengan ilmu-ilmu keislaman agar mereka bisa mengamalkan ajaran Islam dengan baik dan benar.
Pada awalnya Syekh Burhanuddin memang dikenal sebagai ulama yang akomodatif terhadap budaya lokal. Dan hal ini dipandang sebagai salah satu kunci kesuksesan sang syekh dalam mengislamkan Minangkabau, sebagaimana kita lihat. Di surau Syekh Burhanuddin, para murid bisa belajar adat dan kebudayaan tradisional Ulakan. Burhanuddin menerima mereka sebagai murid di samping sebagai pembantunya dalam menyebarkan ajaran Islam dan tarekat Syaththariyyah di Minangkabau.
Dengan demikian, para murid tidak hanya menguasai ilmu agama (Islam) semata, tetapi juga memahami ilmu yang berkaitan dengan adat dan budaya lokal. Dengan bekal ilmu adat dan budaya Minangkabau, murid surau tidak canggung lagi hidup di tengah masyarakat.
Bahkan mereka bisa memberikan masukan dan kritikan terhadap kebiasaan-kebiasaan adat yang tidak sesuai dengan nilai-nilai agama. Kelebihan yang dimiliki murid surau telah memberikan tempat kepada mereka dalam kedudukan bermasyarakat sehingga pengakuan masyarakat mudah mereka dapatkan.
Dan salah satu metode dakwah Syekh Burhanuddin adalah melalui metode tarekat. Yang paling utama adalah Tarekat Syaththāriyyah yang dipandang sebagai tarekat Sufi pertama yang datang dan berkembang di Minangkabau.
Setelah era Burhanuddin (abad ke 18), masuk ke Minangkabau tarekat Sufi lainnya yaitu Naqshbandiyyah yang berpusat di Cangkiang, Menggunakan tasawuf sebagai pendekatan islamisasi Sebagai seorang ulama sufi, sudah jelas Syekh Burhanuddin menggunakan pendekatan tasawuf dalam upaya islamisasi Minangkabau.
Salah satu bentuk dari pendekatan tasawuf yang digunakan Burhanuddin dalam islamisasi Minangkabau, ialah tidak menolak kearifan lokal yaitu adat dan budaya Minangkabau. Burhanuddin hanya membersihkan adat dan budaya Minang dari nilai-nilai yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Bahkan Burhanuddin mengadopsi sebagian budaya Minang untuk media dakwah seperti kesenian bela diri pencak silat, uluambek dan indang, seperti yang akan kita lihat. Disamping itu, selain mengajarkan tasawuf yang bersifat umum, Burhanuddin menyebarkan Tarekat Syaththāriyyah secara khusus. Bahkan, Burhanuddin dipandang sebagai ulama sufi pertama yang membawa dan menyebarkan Tarekat Syaththāriyyah ditanah Minangkabau. Semoga artikel ini bermanfaat bagi semua pembaca.(*)