ArtikelSumatera Barat

Penolakan Sultan Aceh Terhadap Ajaran Tarekat Naqsabandiyah

×

Penolakan Sultan Aceh Terhadap Ajaran Tarekat Naqsabandiyah

Sebarkan artikel ini
Annisa Mawaddah, Yudaha Wahyu Putra, dan Annisa Farizky

Ditulis Oleh Annisa Mawaddah, Annisa Farizky, Yudaha Wahyu Putra

Mahasiswa Universitas Negeri Padang (UNP)

Aceh Darussalam  pada abad ke-15 M menjadi salah satu kerajaan dengan pelabuhan paling ramai dikujungi di pulau Sumatra setelah  Pelabuhan di kerajaan Malaka. Salah satu factor yang membuat pelabuhan ini ramai dikunjungi, adalah letak geografisnya  yang berbatas langsung dengan Samudra Hindia. Maka tidak heran budaya aceh banyak terkontaminasi oleh pengaruh dari luar, salah satunya budaya yaitu Tarekat yang dibawa oleh para pedagang muslim Arab.

Ajaran tarekat mulai berkembang di Indonesia antara abad 16 dan 17. Ajaran Tarekat sendiri mulai dikembangkan oleh beberapa ulama Aceh seperti, Hamzah Fansuri. Nuruddin Arrannury, Abdurrauf Al-Singkili dan  Syamsuddin Pasai. Hamzah Fansuri sendiri hidup pada masa pemerintahan  Sultan Alauddin Ri’yat Syah Sayid Al-Mukammal hingga masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda yang kala itu menjadi sultan kesultanan Aceh Darussalam.

Ia adalah seorang ulama sekaligus Sufi dan sastrawan yang sangat terkenal pada masanya. Syamsuddin adalah salah satu murid dari Hamzah Fansuri. Sayangnya ajaran Tasawuf Wujudiyah yang dibawa murid dan guru ini di anggap sesat oleh  Nuruddin Arraniri  yang kala itu  juga dekat dengan Sultan Iskandar Tsani.

Mereka menganggap ajaran Tasawuf Wujudiyah ini tidak sesuai dengan ajaran Islam karena mengacu pada kesatuan wujud tuhan dengan makhluk hidup dan  adanya perbedaan syariat dengan hakikat.

Sultan Iskandar Tsani Sani  yang sebelumnya sudah mengeluarkan kebijakan untuk mengahpus dan melarang perkembangan ajaran Tasawuf Wujudiyah. Selain itu Nurudin Arraniri juga menyeru untuk semua yang menjadi pengkikut Tasawuf Wujudiyah agar segera bertaubat dan kembali ke ajaran Islam yang benar. Arraniri bahkan juga mengeluarkan fatwa orang yang mengikuti ajaran Taswuf Wujudiyah ini darahnya halal untuk dibunuh.

Pertentangan mulai mereda saat Syech Abdurrauf Al-Singkili datang ke Aceh, setelah lama mengembara menuntut Ilmu. Saat tiba di Aceh, ia diangkat menjadi Mufti dan berusaha menengahi konflik yang terjadi antara kelompok Hamzah Fansuri dan kelompk Nuruddin Ar-raniri. Syech Abdurrauf berusaha untuk mencari titik tengah dan kebenaran dari masaalah ini.[*]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *