Marapi Post-Tim Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI memprediksi gempa dan tsunami raksasa bakal terjadi kembali pada jalur-jalur tunjaman lempeng. Informasi ini dikutip dan diberitakan Media Online SUMBARKITA.ID, CNN Indonesia, KOMOPAS.com, ANTARA, dan beberapa media lain.
Dalam berita itu menyebutkan, hasil penelitian LIPI, hal itu dipastikan terjadi berulang,” kata Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI Eko Yulianto, dilansir Antara, Jumat (26/9/2020).Jalur-jalur ini akan tetap menghasilkan gempa dan tsunami raksasa di masa datang.
Tiap-tiap jalur memiliki waktu perulangan ratusan hingga ribuan tahun,” ungkapnya. Dijelaskan lebih lanjut, Tim Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI meneliti tsunami purba sejak 2006 di pantai Lebak, Pangandaran, Cilacap, Kutoarjo, Kulonprogo dan Pacitan. Endapan tsunami berumur 300 tahun ditemukan di sepanjang pantai itu.
Di Lebak, tsunami menguburkan batang-batang kayu di suatu rawa sejauh 1,5 kilometer (km) dari garis pantai. Di Pangandaran, tsunami menghancurkan mangrove. Penelitian di lokasi bandara baru Kulonprogo menemukan pasir yang kaya akan jasad renik penghuni laut dalam, foraminifera, dan radiolaria.
Lokasi-lokasi endapan tsunami purba itu berada hingga 2,5 km dari garis pantai. Artinya, tsunami merangsek daratan setidaknya sampai 2,5 km. Lebih lanjut Eko menuturkan, jika lempeng di selatan Jawa sepanjang 800 km bergeser, gempa magnitudo 9 dapat terjadi.
Sebagai gambaran, tsunami Aceh 2004 dipicu gempa magnitudo 9,1 akibat pergeseran lempeng sepanjang 1.300 km. Sementara itu, tsunami Jepang 2011 dipicu gempa magnitudo 9 akibat pergeseran lempeng sepanjang 500 km.
Menurut Eko, dari hitungan hipotetik MacCaffrey yang merupakan seorang ahli geofisika Amerika, jalur subduksi selatan Jawa berpotensi memicu gempa magnitudo 9,6 yang berulang 675 tahun sekali. Kalkulasi serupa untuk pantai barat Sumatera adalah 525 tahun.
Penelitian tsunami berhasil mengkonfirmasi hitungan hipotetik itu, bahwa tsunami serupa 2004 pernah terjadi 550 tahun lalu. Sebagai perbandingan, tsunami Jepang 2011 pernah terjadi 1.142 tahun lalu tercatat di suatu kitab kuno dan dikenal sebagai tsunami Jogan.
Gempa magnitudo 9,5 di Chili tahun 1960 yang memicu tsunami raksasa juga pernah terjadi sebelumnya pada 1575. Eko menuturkan perlu menjadi perhatian bahwa hasil penelitian mutakhir endapan tsunami di dalam Gua Laut di Aceh selama kurun 7.400 tahun terakhir menunjukkan, perulangan tsunami dan gempa tidak benar-benar periodik. Dalam satu periode waktu tertentu, tsunami lebih sering terjadi daripada periode lainnya.
Informasi ini suatu pesan kuat, masyarakat harus siap siaga sepanjang waktu guna menghadapi seandainya ancaman gempa dan tsunami benar-benar terjadi, tegas Eko. Kata Eko, perlu mitigasi bencana dalam menyikapi potensi bencana yang ada di Indonesia.
Menurut Eko, pengembangan wilayah pesisir selatan Jawa sebagai pusat-pusat perekonomian dipastikan akan meningkatkan risiko bencananya, khususnya tsunami. Tapi untuk Sumatera, khususnya Sumatera Barat dan lainnya belum ada komentar hingga berita ini diturunkan.
Karena itu, sudah selayaknya pemerintah menghitung ulang analisis risikonya sehingga upaya pengurangan risiko dapat dilakukan menyatu dengan segala kegiatan pembangunan. Dengan demikian, pembangunan tetap dapat dilakukan bukan saja berdasarkan atas asas manfaat namun juga di atas prinsip keberlanjutan. Dia menuturkan setiap kegiatan pembangunan harus menempatkan pengurangan risiko sebagai modalitas utamanya.
“Hasil analisis risikolah yang dapat digunakan sebagai alasan apakah sebuah proyek pembangunan harus dihentikan, boleh dilanjutkan, atau boleh dilanjutkan dengan syarat,” ujar Eko.(LUKMAN)